Kamis, 28 Oktober 2010

Patahan Lembang, Bencana yang menunggu “KUN!! FAYAKUN”

Tim riset dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia mendapatkan bukti patahan aktif itu diperkirakan pernah mengguncang cekungan Bandung dengan kekuatan 7 skala richter.Patahan adalah retakan pada kulit bumi dengan dua sisi bergerak berlainan arah serta berpotensi menimbulkan gempa. Patahan Lembang membentang dalam bentuk bukit di utara Kota Bandung dengan panjang sekitar 22 kilometer. Bahayanya, kini di atasnya berdiri ribuan bangunan.

Seorang peneliti dari pusat penelitian geoteknologi LIPI, Eko Yulianto mengatakan, patahan Lembang sepanjang 20-25 kilometer kemungkinan pernah bergerak bersamaan. Selip vertikalnya di dalam tanah patahan ada yang ditemukan sepanjang 70-80 sentimeter. "Kalau (patahan) bergerak bersamaan bisa mendekati gempa 7 skala richter," katanya di sela seminar mitigasi bencana di UPI Bandung, Selasa (11/5). Pergerakan patahan ini diperkirakan sekitar 400-700 tahun sekali, dan aktivitas terakhir patahan Lembang ini sekitar 500 tahun yang lalu. Nah lho, tidak menutup kemungkinan patahan tersebut kembali bergerak.
Menurut Brian Atwater, paleoseismolog dari United States Geological Survey (USGS), ancaman bencana Patahan Lembang termasuk kategori kelas dunia karena patahan itu berada di dekat kawasan kota yang sangat padat. Hal yang jarang terjadi di dunia.
Dari hasil itu, Eko yakin patahan Lembang masih aktif. Karena itu, tim masih perlu mendapatkan tambahan data lagi dari lubang dengan kedalaman 30 meter. Lubang riset pun akan diperbanyak karena diduga, patahan Lembang juga bergerak terpotong-potong atau dalam segmen tertentu. Patahan Lembang bergerak karena dorongan lempeng Indo Australia dari selatan dan tertahan lempeng Eurasia dari utara seperti halnya di Sumatera. Karena tak kuat menahan desakan, patahan itu akan melenting dan menimbulkan gempa. Temuan menarik lainnya, patahan itu juga memicu aktivitas perut Gunung Tangkuban Parahu. Selama ini, asumsinya terbalik. "Selama ini ternyata titik-titik pusat gempa di dekat patahan Lembang itu plotnya di sekitar Gunung Tangkuban Parahu," katanya. Fakta itu dikuatkan oleh riset tim geodesi Institut Teknologi Bandung yang dipimpin Sri Widiantoro.
Karena masih belum ada alat yang dapat menditeksi adanya bencana, yang dapat dilakukan oleh pemerintah setempat hanyalah memitigasi bencana. Masih belum terbayang, bila patahan tersebut sedikit bergoyang, hancurlah UPI, bahkan indahnya Bandung hanya cerita. Jadi keingetan surat Al-Zalzalah,
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat”(99:1), gempa 7 sekala richter. “Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya.”(99:2), dan gempa tersebut berpotensi memicu gn. Tangkuban Perahu meletus. “Dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini?” pada hari itu bumi menyampaikan beritanya. Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan itu kepadanya (bumi)” (99:3-5). Intinya, Patahan Lembang tinggal menunggu Tuhan berkata “Kun” maka dengan segera fayakun, terjadilah. Ih, ngeri.
(Berbagai sumber)

Patahan Lembang, Bencana yang menunggu “KUN!! FAYAKUN”

Tim riset dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia mendapatkan bukti patahan aktif itu diperkirakan pernah mengguncang cekungan Bandung dengan kekuatan 7 skala richter.Patahan adalah retakan pada kulit bumi dengan dua sisi bergerak berlainan arah serta berpotensi menimbulkan gempa. Patahan Lembang membentang dalam bentuk bukit di utara Kota Bandung dengan panjang sekitar 22 kilometer. Bahayanya, kini di atasnya berdiri ribuan bangunan.

Seorang peneliti dari pusat penelitian geoteknologi LIPI, Eko Yulianto mengatakan, patahan Lembang sepanjang 20-25 kilometer kemungkinan pernah bergerak bersamaan. Selip vertikalnya di dalam tanah patahan ada yang ditemukan sepanjang 70-80 sentimeter. "Kalau (patahan) bergerak bersamaan bisa mendekati gempa 7 skala richter," katanya di sela seminar mitigasi bencana di UPI Bandung, Selasa (11/5). Pergerakan patahan ini diperkirakan sekitar 400-700 tahun sekali, dan aktivitas terakhir patahan Lembang ini sekitar 500 tahun yang lalu. Nah lho, tidak menutup kemungkinan patahan tersebut kembali bergerak.
Menurut Brian Atwater, paleoseismolog dari United States Geological Survey (USGS), ancaman bencana Patahan Lembang termasuk kategori kelas dunia karena patahan itu berada di dekat kawasan kota yang sangat padat. Hal yang jarang terjadi di dunia.
Dari hasil itu, Eko yakin patahan Lembang masih aktif. Karena itu, tim masih perlu mendapatkan tambahan data lagi dari lubang dengan kedalaman 30 meter. Lubang riset pun akan diperbanyak karena diduga, patahan Lembang juga bergerak terpotong-potong atau dalam segmen tertentu. Patahan Lembang bergerak karena dorongan lempeng Indo Australia dari selatan dan tertahan lempeng Eurasia dari utara seperti halnya di Sumatera. Karena tak kuat menahan desakan, patahan itu akan melenting dan menimbulkan gempa. Temuan menarik lainnya, patahan itu juga memicu aktivitas perut Gunung Tangkuban Parahu. Selama ini, asumsinya terbalik. "Selama ini ternyata titik-titik pusat gempa di dekat patahan Lembang itu plotnya di sekitar Gunung Tangkuban Parahu," katanya. Fakta itu dikuatkan oleh riset tim geodesi Institut Teknologi Bandung yang dipimpin Sri Widiantoro.
Karena masih belum ada alat yang dapat menditeksi adanya bencana, yang dapat dilakukan oleh pemerintah setempat hanyalah memitigasi bencana. Masih belum terbayang, bila patahan tersebut sedikit bergoyang, hancurlah UPI, bahkan indahnya Bandung hanya cerita. Jadi keingetan surat Al-Zalzalah,
“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat”(99:1), gempa 7 sekala richter. “Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya.”(99:2), dan gempa tersebut berpotensi memicu gn. Tangkuban Perahu meletus. “Dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini?” pada hari itu bumi menyampaikan beritanya. Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan itu kepadanya (bumi)” (99:3-5). Intinya, Patahan Lembang tinggal menunggu Tuhan berkata “Kun” maka dengan segera fayakun, terjadilah. Ih, ngeri.
(Berbagai sumber)

Cekungan Bandoeng Riwayatmoe Doeloe

Bandung. Kota besar pusat sagala aya (segala tersedia), pusat dari segala wisata, Baik itu alam, kuliner, atau wisata belanja, semua lengkap tersedia. Begitu indah dan sejuk (iya, gitu??? Dibanding Cianjur mah, iya!), karenanya Bandung mendapat julukan Paris van Java. Tapi bagaimana rupa Bandung tempo “dulu”? (disini kita pake kata ‘dulu’ menurut orang geologi, ya!). Berikut penjelasnnya…
Puluhan juta tahun yang lalu dataran tinggi Bandung bukanlah merupakan daratan melainkan lautan. Kemudian sekitar sepuluh juta tahun yang lalu, terjadi proses pengangkatan kerak bumi sehingga kawasan in iberubah menjadi daratan. Proses tersebut juga diikuti dengan munculnya gunung-gunung berapi di daerah selatan atau utara, sehingga bentuk daerah ini berubah jadi cekungan Bandung.
Diantara gunung-gunung yang terbentuk, terdapat sebuah gunung besar, bernama Gunung Sunda. Gunung yang tingginya mencapai empat ribu meter dan diselimuti salju, yang kemudian 150 ribu tahun yang lalu gunung tersebut meletus hingga membentuk sebuah kaldera, yang dasar kaldera tersebut kini menjadi gunung Tangkuban Parahu. Saat itu muntahan Gunung Sunda menutupi areal yang sangat luas, aliran sungai Citarum purba juga ikut terbendung, mempercepat proses pembentukan danau, akhirnya cekungan terisi air dan dinamakan Danau Bandung Purba dengan ketinggian air mencapai 712,5 meter dari permukaan laut.
Enam belas ribu tahun silam aliran air Danau Bandung Purba menemukan jalan keluar dengan membobol dinding bagian barat cekungan. Sejak saat itu permukaan air danau mulai surut sampai ke dasarnya, hingga menyisakan rawa basah seperti rawa dan situ. Awalnya manusia memanfaatkan kawasan tersebut sebagai sumber air dan pembudidayaan ikan. Seiring berjalannya waktu cekungan Bandung berkembang menjadi daerah pemukiman penduduk.
Inilah Bandung sekarang, kawasan metropolitan, modern, pusat bisnis dan perindustrian. Semoga pembangunan kota Bandung kini tidak serta merta membangun, tapi juga menjaga. Tataplah indah Bandungku, seperti riwayatmu dulu.

Cekungan Bandoeng Riwayatmoe Doeloe

Bandung. Kota besar pusat sagala aya (segala tersedia), pusat dari segala wisata, Baik itu alam, kuliner, atau wisata belanja, semua lengkap tersedia. Begitu indah dan sejuk (iya, gitu??? Dibanding Cianjur mah, iya!), karenanya Bandung mendapat julukan Paris van Java. Tapi bagaimana rupa Bandung tempo “dulu”? (disini kita pake kata ‘dulu’ menurut orang geologi, ya!). Berikut penjelasnnya…
Puluhan juta tahun yang lalu dataran tinggi Bandung bukanlah merupakan daratan melainkan lautan. Kemudian sekitar sepuluh juta tahun yang lalu, terjadi proses pengangkatan kerak bumi sehingga kawasan in iberubah menjadi daratan. Proses tersebut juga diikuti dengan munculnya gunung-gunung berapi di daerah selatan atau utara, sehingga bentuk daerah ini berubah jadi cekungan Bandung.
Diantara gunung-gunung yang terbentuk, terdapat sebuah gunung besar, bernama Gunung Sunda. Gunung yang tingginya mencapai empat ribu meter dan diselimuti salju, yang kemudian 150 ribu tahun yang lalu gunung tersebut meletus hingga membentuk sebuah kaldera, yang dasar kaldera tersebut kini menjadi gunung Tangkuban Parahu. Saat itu muntahan Gunung Sunda menutupi areal yang sangat luas, aliran sungai Citarum purba juga ikut terbendung, mempercepat proses pembentukan danau, akhirnya cekungan terisi air dan dinamakan Danau Bandung Purba dengan ketinggian air mencapai 712,5 meter dari permukaan laut.
Enam belas ribu tahun silam aliran air Danau Bandung Purba menemukan jalan keluar dengan membobol dinding bagian barat cekungan. Sejak saat itu permukaan air danau mulai surut sampai ke dasarnya, hingga menyisakan rawa basah seperti rawa dan situ. Awalnya manusia memanfaatkan kawasan tersebut sebagai sumber air dan pembudidayaan ikan. Seiring berjalannya waktu cekungan Bandung berkembang menjadi daerah pemukiman penduduk.
Inilah Bandung sekarang, kawasan metropolitan, modern, pusat bisnis dan perindustrian. Semoga pembangunan kota Bandung kini tidak serta merta membangun, tapi juga menjaga. Tataplah indah Bandungku, seperti riwayatmu dulu.

Cinta punya DINAMIKA

Cinta punya DINAMIKA

Berubahkah aku??
Hanya bila ada sesuatu
terus aku pulang
pada sikap sebelum kuberubah
Hanya sekedar sesuatu
tak berapa lama bukti itu
jalan kutersendat dalam sikap dimana ku berubah
tuhan,,,
aku hanya manusia
mudah berubah lagi dalam sekejap
tuhan,,, aku ingin berubah dan kubertahan dalam perubahanku

Dalam hening ku bersenandung. Edcoustic, salah satu grup nasyid yang lama kugandrungi, liriknya sarat makna dan sesuai adanya hatiku kini. Berubah. Begitu lagu tersebut diberi tajuk. Dan akupun sama hendak berubah. Perkenalkan, namaku Dinamika Putri Aisyah, banyak orang bilang namaku unik. Panggil saja Dina. Yah, demikianlah ku diberi nama, sebagai doa dari kedua orang tua yang beberapa tahun ini jauh di mata. Semoga ku bisa jadi seperti namaku kini, Dinamika. Berarti bergerak dan selalu berubah pada bentuk yang lebih maju. Sering terasa berat miliki nama sebagus itu, karena Tak banyak yang istimewa dariku, hanya sebagai muslimah biasa, bener-bener biasa, standar saja, dengan tingkat keimanan standar, berkerudung standar, bercita-cita standar dan berusaha standar juga. Cuma parasku saja yang banyak dibilang di atas rata-rata, dan aku dengan senang hati setuju atas pendapat mereka. He
Banyak orang yang tak menyangka bahwa aku ini lulusan pesantren, di mata orang kebanyakan anak pesantren itu kerudungnya lebar, kemana-mana selalu memakai gamis atau minimal menggunakan rok. Tapi aku?? Masih setia dengan celana panjang, kerudung pas-pasan, dan baju yang sekedar menutup badan. Yah, mau bagaimana lagi, beginilah seorang Dina berpenampilan. Bukan ku tak tau seperti apa kriteria jilbab yang nyata dihimbau Al-quran dan Hadits. Tapi apa daya?? Belum ada niat kuat dan kehendak dahsyat untuk berubah. Namun walau bagaimana, manusia dikaruniai fitrah untuk condong pada kebaikan sejahat apapun orang itu. Begitupun dengan seorang Dinamika. Tak dapat berbohong, ada kedamaian saat kupandang teteh-teteh dengan jilbab lebar dan pakaian panjang, dengan suara lembut mereka menyapa, tertawa sekedarnya kemudian beristigfar, ada kecantikan lain yang berpijar di sosok mereka, jelita yang berbeda. Teduh.
Bukan hal yang sulit menjumpai kahwat-akwat di sekitarku, terang saja aku dulu tinggal di pondok pesantren. Gudangnya akhwat-akhwat dan orang-orang soleh-solehan, dan aku produk gagalnya. Hhmmm,, tetap saja masih terlalu jauh rasanya tuk seperti mereka.
“Tuh, Din. Kapan kamu mau kaya teh Susi?” canda seorang teman suatu kala.
Ku lirik sekejap si teteh berjilbab rapih yang masih lima meter jarak antaranya dan kami.
“Kapan ya?? Ntar kalo dah nikah meren?? Hahhahah..” jawabku diselangi kelekar.
Saat itu jam istirahat. Percakapan itu seperti angin lalu, namun sering kurenungi, tak jarang kubertanya dalam hati. Apa pantas aku pakai jilbab sepanjang itu? Aku kan tidak selembut mereka? Masih sering ku berkata kurang baik, masih sering ku larak-lirik lawan jenis, nanti dibilang so alim, malas aku kalau nantinya disindir temen-temen yang rese, “Cie,, tobat nieh??” dan masih ada berbagai alasan lain tuk berkilah.
Begitulah, sampai lulus aliah pun masih saja tak nampak ada perubahan. Stagnan. Namun perlahan berubah, terasa mengalir tenang namun pasti kemana bermuara. Saat ku merangkak mendekati-Nya, kemudian kubelajar berjalan menuju-Nya, sampai ku berusaha berlari mengejar-Nya.
***
“Din, kamu lulus!!” suara Mona seakan tak percaya.
“Beneran, Din! Liat neh!!” Pikiran Rakyat disodorkan di depan mataku, terlalu depan malah. Penasaran.
“Mana??”
“Tuh, Dinamika Putri Aisyah. No 74. Pend. Geografi UPI.” Ini mimpi.
“Ahh,,,!! Alhamdulillah..!!” teriaku saat mulai kukembalikan jiwa di alam nyata.
Ku cium bumi. Tersungkur sungguh penuh syukur, berhamdalah tiada henti. Ini kabar gembira paling membahagiakan seantero hati milikku. Jenjang pemburuan ilmu kan ku teruskan di rimba akademik Universitas Pendidikan Indonesia. Kampus indah, impian jadi nyata.
“Selamat ya? Bangga lah punya temen kaya kamu, Din!!” binar kebahagiaan terpancar tulus di raut wajah sahabatku ini. Sambil memelukku penuh haru.
“Ini berkat doa kamu juga, Mon!!” ku balas hangat pelukannya.
“Jadi orang Bandung tuh!!”
“ya lah,, tapi tenang aja,,, Cianjur tetap nomor satu, He!”
Sore yang indah, tak terlupakan. Karena sejak saat itu hatiku mulai tergetarkan.
***
Kesan pertama masuki gerbang bercemerlang Universitas pendidikan Indonesia adalah kemegahan. Rasa bangga dan suka cita. Langkah pertama ku kayuh penuh haru dan tak percaya. Tak hanya itu, masuki UPI tak ubahnya ku masuki gerbang pesantren dulu. Tiap lirikan mata selalu ada wanita-wanita surga dengan jilbabnya yang berkibar, bangga akan Islam dan apa yang dibawanya. Benar apa kata orang, UPI itu kampus bagus yang religius.
Setelah kemarin resmi jadi anak kos, diiringi doa dan bekal petuah orang tua, ku siap jalani hidup baru sebagai mahasiswa UPI, jurusan Pendidikan Geografi. Hampir semua keluarga dan sahabat mewanti-wanti agar ku tak salah langkah, kampus kadang-kadang buat akhlaq jadi tak bagus, pandai-pandailah memilih teman, begitu kata salah satu paman padaku. Dekatilah mesjid, karena ia hanya di datangi oleh orang-orang yang tak lupa pada Rabb-nya. Percayakah kalian dengan kekuatan doa?? Bila belum mulailah untuk percaya, Dan atas kekuatan doa menuntunku pada jalan-Nya yang nyata.
Registrasi mahasiswa baru kala itu ku jumpa dengan guide pertama dalam jalan perubahanku. Raihana. Gadis yang baik, dan dia seorang akhwat. Parasnya manis dan anggun. Dia teman baruku yang pertama. Karena sama-sama maru di jurusan pend. Geografi kami sering pergi kemana-mana berdua, kebetulan tugas ospek kami tak sedikit, kami jadi sering pergi ke sana-sini bersama. Obrolan hangat dengan sendirinya terjalin akrab, tentang keluarga, kenapa masuk UPI, dan ya begitulah, yang namanya ngobrolkan sering tak berjudul. Dan,,,
“Eh, kamu lulusan pesantren ya, Na?” tanyaku.
“Ga, aku nak SMA di Majalengka.” Polos. “Kamu SMA mana, Din?”
“Aku di aliah, say?” jawabku datar.
Sedikit membelalakan matany, Hana hanya bilang, “Oh,,,” mungkin dia heran kenapa penampilan kami seperti terbalik, aku yang harusnya berpenampilan rapih dengan jilbab panjang dan berok manis malah berjins dan berkemeja standar, pake kerudung tipis yang kurang paripurna menutup aurat (Baca: kerudung paris). Sedang Hana berpenampilan sama dengan teman-teman ku di pesantren dulu.
“Na, aku kadang suka heran, kadang-kadang anak SMA itu melebihi anak pesantren.” ujarku padanya.
“Hmm, maksudnya gimana?? Lebih apanya??”
“Iya, kadang-kadang kami lebih cuek dibanding kalian dalam hal berbusana. Kadang-kadang kalian lebih rapih dalam berjilbab daripada kami. Contohnya kita.”
“Oh,,, itu hanya dalam tampilan saja. Padahal aku khususnya, masih sedikit tau tentang agama, beda jauh dong sama kalian.”
“Nah itu keheranan ku. Sebagian kami yang sedikit-banyaknya tau mengenai agama malah berpakaian seadananya. Sedangkan kalian lebih ‘waw’ dibanding kami.”
“Banyak yang bilang kami itu kaya muallaf.” Kening ku kerutakan tanda kurang paham pada jawaban Hana barusan.
“Ya, muallaf yang udah muslim, yang asalnya kami buta hijab trus dapet hidayah lagi untuk menutup aurat, hati kami tergerak untuk sempurna dalam berjilbab. Ga nanggung.”
Aku diam. “Din, kenapa?? Maaf!! Omonganku ada yang salah, ya?”
“Ih… ga apa-apa kok, Na!.. aku Cuma lagi mikir aja, omongan kamu ada benarnya.”
“MMhhh,,, bikin was-was aja. Kamu juga dah bagus kok, yang penting menutup aurat”
Ya, betul yang penting menutup aurat. Begitu fikirku. Ada yang kontra. Hatiku seperti digedor. Ada yang salah.
Perbincanganku dengan Hana memmbuatku berfikir. Ku tafakuri kembali Quran surat An-Nur ayat 31. Kuhafal di luar kepala, tapi orang lainlah yang mengamalkannya. Kekalahan, merupakan suatu kemunduran bagiku.
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasannya,,, (Q.S. An-Nur:31)
Astagfirullah, ampun aku ya Rabb… sedikit demi sedikit ku berevolusi, ku usahakan semampuku untuk tak lagi mengenakan celana panjang saat ke luar rumah. Untung persediaan rok milikku lumayan banyak, kebetulan pesatren kami dulu tak menghendaki santrinya memakai celana, atau pakaian yang menyerupai laki-laki lainnya.
Hana mengenalkanku pada banyak temannya, para wanita surga dengan jilbab panjang sebagai mahkotanya, di dekat mereka aku tenang, selalu ada kesejukan dalam setiap canda gurau kami. Ku diajak mengikuti berbagai kegiatan di mesjid. Ada sedikit rasa minder menghantuiku, serasa jadi aneh, berada diantara jilbaber sedangkan aku hanya berkerudung standar.
“Ih,, Dina mah malu bareng kalian teh!”
“Oh,, punya malu? Kirain lupa naro? Hehehe! ‘Afwan, ya? Kidding!!” canda Hana menggodaku.
“Ih,,, dasar!” kucubit lengannya yang tak berdaging.
“Malu kenapa gitu, Din?” tanya Balebat pada ku.
“Tuh, liat! Kerudung kalian panjang-panjang, aku?” kuakui.
“Ya ga apa-apa atuh! Jadi diri sendiri aja, iya ga?” Balebat minta persetujuan.
“Betul, betul, betul!” kata Hana sepakat.
Kami berbincang di pelataran mesjid kebanggaan, Al-Furqan. Ada seberkas cahaya, bawa hatiku terus bergerak dekati ridlo Ilahi.
***
Sendari tadi kumematut diri, di depan cermin yang dari tadi ada aku di dalamnya, aku yang ingin jadi baru. Tak ada yang kebetulan dalam dunia ini, semua telah dirancang sempurna oleh Pemilik Alam Raya, Dialah Penulis skenario kehidupan tiap manusia di jagat. Kerudung-kerudung yang kubeli dulu, yung ku sesali itu karena mereka terlalu kecil untukku. Meski aku tak begitu idealis masalah jilbab, tatap saja aku takan mau bila harus memakai kerudung yang tidak menutupi pundak. Karena ingin kuatku untuk berubah, ku jadikan kerudung imut tadi sebagai lapis dari kerudung-kerudung tipis yang sering kupakai kemarin, sehingga mereka tak lagi transparan, takkan ada bayangan leher saat cahaya mentari soroti aku secara langsung, ku juntaikan kerudung melebihi dari biasanya, kukenakan gamis manis yang lama tak kupakai, manset yang kemarin kubeli kukenakan di tiap pergelangan tanganku, kaos kaki senada juga tutupi kaki-kaki ku. Inilah aku yang baru. Sekali lagi kubercermin. kubacakan doa itu setulus hati. Ku tersenyum pada bayangan yang ada disana, dengan membaca Bismillah, dengan ini kusiap jalani hari.
Alam serasa ikut bersuka, mentari sambut hariku, udara sejuk segarkan raga, langkahku seakan ringan. Ini hari yang baru dalam lembar baru dan semangat perubahan kini lahir dalam jiwa Dinamika Putri Aisyah.
“Dina, subhanalla!” Sapa Hana di awal kami bersua.
“Cantik, ga?” iseng kutanya.
“Banget, Din!! Selamat, ya! Barakallahulak!”
“Amin, insyaallah.”
Kami berpisah karena kami memang beda kelas, aku kelas B dan Hana kelas A. Ku masuk kelas. Saat memasuki ruang kelas pun sama.
“Assalamu’alaikum, bu Ustadzah” sapa Dara padaku. Anak Palembang itu tersenyum manis menggoda.
“Dina,, cantik nian!” ujar Ineu padaku. Aku hanya bisa nyengir kuda.
Selalu ada ujian di tiap kenaikan tingkat, begitupun dalam perubahan ku. Jalan kebenaran tak akan selamanya sepi, ada ujian yang datang melanda, ada perangkap menuju mangsa. Dan ujian itupun datang. Saat jalan pulang pada Islam ingin segera ku sampai. Saat ingin segeraku teriakan ISLAM IS MY WAY… dengan mudahnya ku merubah, namun sulit kupertahankan.
Selalu ku berdoa dalam sujud tiap kali bersua dengan Tuhan dalam tiap solatku, selalu kumeminta pada-Nya. Rabby, inilah aku, hamba-Mu yang benar-benar lemah. Tak daya aku hidup tanpa bantuan dan kasih dari-Mu. Ku mohon hanya pada Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ampuni aku atas segala dosa yang telah ku perbuat, yang kecil atau yang besar yang ku ingat atau yang telah aku lupa. Aku hamba-Mu yang rapuh, maka ujilah aku dengan nikmat dan rizki-Mu, uji aku agar aku mau bersyukur. Janganlah uji aku dengan kefakiran hingga kudekati kekufuran. Dan tabahkan aku dalam setiap ujian itu.
Entah ini ujian yang indah atau apalah namanya. Rasa hati takkan pernah dusta. Ada seberkas rasa yang ku tau itu apa. Mungkin ku suka dirinya. Qolbu Ihsany, banyak kawan kami yang memanggilnya Kang Qolbu, angkatan 2008, campuran Bandung-Jambi. Lama di Bali. Setidaknya begitulah informasi yang kami dapat saat ospek jurusan kemarin. Begitulah, ia masih kalah ganteng dibanding kang Indra, masih kalah putih dibanding kang Izul, namun sosoknya benar-benar lelaki, tubuhnya tegap, tinggi 180-an, rambut ikalnya dipotong pendek, wajahnya bersih. Gayanya biasa saja, seperti anak geografi kebanyakan, celana PDL, kaos lengan pendek dengan kemeja tanpa dikancingkan. dan aku enak melihatnya. Tipe pria seperti itu yang kuimpikan. Uppss.
Satu yang tak ku lupa, ospek kemarin kami wajib ikut out bond, susur sungailah singkatnya. Takut. Asli aku phobia air, dulu aku coba-coba ikut Paserpal, Paguyuban Santeri pencinta Alam. Dalam perjalanan menuju tempat pelantikan anggota kami mau tidak mau harus menyebrangi sungai yang arusnya tak bisa dibilang tenang, awalnya aku sangat bernyali, namun derasnya air buatku ciut, seperti kerupuk yang disiram air bakso, langsung melempem. Ku coba raih tangan seorang teman namun tumpuaan sang kawan lemah, kami jatuh, kami berdua hanyut, aku bingung, hanya bisa menjerit sekuatnya, maut seakan ku masuki gerbangnya, timbul tenggelam, tubuh dibentur-benturkan ke batu oleh derasnya air, dingin merajang tiap syaraf yang ada dalam raga. Ku limbung, sampai akhirnya kupsarah, namun akhirnya pertolongan Sang Kuasa datang, Miska memang akhwat tangguh, ia berhasil gapai batang pohong pinggir sungai. Alhamdulillah kami selamat.
Dan beginilah aku sekarang, sedikit gemetar bila dengar arus sungai yang gemuruh, wajah agak pucat pasi bila harus lewati jembatan ayang agak tinggi, dan kaki seakan dipereteli saat suara itu mengomando kembali.
“Dipercepat jalannya!!” suaranya geram. “Di geografi kalian dilarang keras untuk manja! Lekas turun!!” begitu sang kaka senior bilang, kang Qalbu. Ku persilahkan mereka terlebih dulu. satu persatu teman satu tim ku mulai masuk ke air. Tinggal aku sendiri yang kakinya masih menapak di darat.
“Din, ayo cepet!” bujuk Hana sang ketua kelompok.
Ku belum cerita tentang phobia ku ini. Mungkin terlalu lama ku berfikir. “Hey, cepat!!” hardik sang senior kembali. Berat, langkahku berat, namun ku coba beranikan diri, ku masukkan kaki ke air, kami berjalan menyusuri sungai, sungguh benar-benar aku takut setengah mati. Bayangan masa lalu kembali, ini medan yang tidak mudah arus semakin deras, kaki semakin berat melangkah. Kami bergengaman erat. Meski kami tau ini perjalanan yang aman karena kami dipandu senior yang pasti selalu ada menjaga. Celakanya kakiku kram di tengah perjalanan. “Hey, kenapa diam?? Cepaaatt!!” katanya sedikit berteriak, suarnya harus berlomba dengan suara gemuruh deras sungai. Ku coba gerakan kaki namun gagal, malah semakin sakit, kakiku membatu, tak ada jalan lain, tak kuat ku mengis rasa takut yang semakin menggila. Ku mulai tak bisa jaga keseimbangan, setengah badan lebih ku mulai tenggelam di air
“Dina,,, hati-hati!! kenapa? Ayo jalan terus?”
“Kaki aku sakit, ga bisa gerak, hiks!” jawabku campur isak.
Isakan ku makin hebat. Dia datang, sang senior datang. “Kenapa?” tanyanya tegas.
“Kaki Dina sakit kang, kram mungkin” seorang kawan menjelaskan.
“To, bantuin, To! Suyanto… buruan!!” hawatir. tugas menjaga tim pindah alih.
Aku dipapahnya ke tepi. Sampai di darat ku tak henti menangis. Takut masih dominasi diri. Kami hanya berdua. Karena akang yang satu lagi pergi memandu timku. Masih dalam keadaan mencekam.
“Dina,ya? Ga apa-apa kan?” tanyanya dengan suara tak setegas tadi. Ku hanya bisa mengangguk. “Kram, bukan?” ku jawab dengan anggukan, lagi. “yang kiri bukan? Sini kakinya saya cek dulu.” Pergelangan kaki dipegangnya, diputar sedikit dan dibengkokkan. “Aw,, aduh!!” kesakitan.
“untung ga terkilir! Lemesin aja dulu, Cuma kram!” ujarnya menenangkan. Seulas senyum tertangkap jelas, penanda ia baik, tak segarang biasanya. Buatku lebih tenang. “Tau ga nama A saipa?”. Ku memutar otak. “Ihsany,,, apa ya lupa?” jawabku cuek. “Qalbu Ihsany”
Begitulah ku mengenalnya. Awalnya biasa, tapi entahlah semua terjadi tanpa disadari, awalnya ku kagumi fisiknya, senang melihatnya dari jauh, mencarinya saat tak nampak ia di hari ku. suatu ketika ku tau dia ada, ku berkumpul dengan teman di loby, saat dia lewat pandanganya tak lurus kedepan, seakan sorotnya mencari aku, atau setidaknya pastikan bahwa itu benar-benar aku. Entahlah aku bingung. GR.
Sampai suatu hari, sedang asik ku sendiri ber-wifi-ria di UPI-Net. Duduk lesehan ditemani sekotak susu coklat. Ku buka facebook, sekedar mengecek dan tentu up-date status. He. Ada dua pemberitahuan, 5 permintaan teman, dan tiga pesan. Ku buka dan kubaca. Tanpa kusadar senyumku terkembang, jilbab merah jambu serasi dengan suasana hati. Penuh bunga dan berwarna-warni. Ihsany Qalbu, kang Qalbu nge-add aku?? Ih,, pucuk dicinta ulam pun tiba!! Segera ku-konfirm saja. Selang tak berapa lama ku baca pesannya…
Dina.. salam kenal, ya!!! ^_^
Obrolan lewat media maya pun berlangsung, tukeran no handphone dan kemudian kami semakin dekat. Ada perasaan bahagia saat terima pesan singkat dari kang Qalby. Entah setan apa yang rasuki aku, fikiran dan mentalku membisikan namanya selalu. Benarkah ini cinta?? Aku jatuh cinta pada seorang gagah bernama Qalbu Ihsany? Segera ku usir sangkaan itu, ku hanya kagumi hanya memuji. Itu saja, tak lebih.
Namun hati tak hanya miliki satu sisi. Terutama hatiku bersegi banyak. Satu sisi ku tak menafikan hadirnya rasa simpati dan kagumku pada kang Qalby, namun dilain pihak kini aku telah berubah, menjadi seorang yang bukan hanya menyandang namaku, tapi ku sandang Islam sebagai jalanku. Ku tak mungkin terus meracuni hati dengan menumbuhkan rasa cinta pada selain Dia. Ku harus malu dengan jilbabku yang sekarang panjang. Ku coba untuk melupakan, sang gagah yang selalu kuidamkan. Ku coba berlari dari rasa ini. Namun mengapa bayangan dia selalu ada di tiap hela nafas dan semakin ku pergi, seakan perasaannya padaku semakin menjadi.
Awalnya ku fikir hanya aku yang kaguminya, dulu kusangka hanya aku yang bersimpati. Kukira hanya pihaku saja yang mendambanya. Tapi setelah lama kami berkomunikasi. Akhirnya kusadari, ada getar dalam setiap pujiannya untukku, ada bahagia yang lain saat ia utarakan kekagumannya padaku. Ku semakin terjerat dalam perangkap yang kubuat sendiri. Perasaan yang seharusnya tak ku biarkan ada kini menjelma jadi raksasa yang buatku lupa pada Sang Kuasa. Ampun aku ya, Rabb.
Sampai nyata-nyata ia bicara. Di Sabtu sore yang berawan, ku ditemani Hana berjalan beriringan menuju loby barat. Disana ada kang Qalbu yang mananti kami, ku khususnya. Tak bermaksud apa, ia hanya ingin meminjamkan rapidonya padaku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam, lama bener, De” begitu sapanya pada kami.
“He,, maaf, kang! Tadi nungguin Hana kuliah dulu” jawabku polos. Hana hanya senyum-senyum menggodaku.
“Ini rapido tea!” sambil menyodorkan sebuah kotak.
“Ga apa-apa Aku pake dulu, kang?” ia tersenyum dan mengangguk. Ia melihat Hana dan kemudian Hana pergi. Hatiku mulai deg-degan.
“Na mau kemana?”
“Ke toilet bentar ya, Din?” jawabnya sambil kabur.
Diam. Dan kemudian.
“A yang nyuruh Hana pergi dulu”
“Kenapa?”
“Pengen ngomongin hal penting aja sama kamu.” Jawabnya datar. Kami duduk berdampingan, tentu saja ada jarak. “Kenapa gitu, kang?”
“Boleh jujur?” ia menghirup nafas panjang.
Ku mengangguk tanda setuju. Sedikit jeda.
“Ga tau kenapa, pas pertama kali liat kamu, jadi keingetan terus sampe sekarang.” Deg. Ada yang tak beres disini.
“Aku sayang sama kamu, Din!”
Semakin bimbang, aku harus senang atau aku harus beristigfar? Ya, Allah… ada apa ini??
“Jadilah bagian dalam hatiku, jadilah teman ku dalam berbagi. Tuntun aku ke jalan-Nya dengan cintamu, Din!” there’s no sound.
“Aku mohon, Din!” wajahnya mengiba, tangguhnya pujaanku tak nampak lagi, seperti menguap bersama pintanya. Matanya penuh kepasrahan. Kesedihan terlukis jelas di bahasa tubuhnya. Tak sanggup harus bicara, fikiranku tumpul, ku seakan berdiri diantara tak tega dan antara konsistensi ku pada syariah. Bantu hamba-Mu yang sangat lemah ini… ku benar tak tau harus bagaimana, dalam kekacauan hati, mataku mulai panas, tak mampu kutahan. Sekejap ku diam dan sebelum airmata menganak sungai ku pergi, Hana baru kembali. Kuserahkan sekotak rapido tadi padanya, kemudian ku mulai berlari. Sambil biarkan mata ini menangis.
Dari kejauhan samar terdengar. Suara gagah itu memanggilku.
“Dina,,, Dinamika…!!”

Sendiri menyepi, melamun dalam renungan. Ada apa aku? Mungkin ku salah, mungkin ku tersesat, mungkin dan mungkin lagi. Oh Tuhan aku merasa… aku harus bagaimana? Apakah ku terima saja panah cintanya? Dia baik, wakil ketua BEM, punya bisnis sendiri, terbilang mahasiswa cerdas, dan ia begitu sempurna di mataku. Apa yang kurang? Tak ada. Toh aku kan masih remaja, wajarlah bila selalu ingin mencoba. Ini bukan pengalaman pertama ku berjalin kasih dengan kaum laki-laki. Asalkan tidak melampaui batas dan kami pun tidak akan macam-macam, kurasa ini sah-sah saja. Memang sih kang Qalbu bukan tipe-tipe ikhwan yang banyak ku kenal di UKDM. Yang bagus baca Al-Qurannya, yang tinggi ilmu agamanya. Tapi, bukankah ini bisa jadi ladang dakwah untukku. Bukankah suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk mendakwahkan kebenaran pada saudarnya? Tapi bukan demikian. Ini salah.
Ya, aku tau ini tidak benar. Tapi ini sulit. Seperti dua kutub magnet yang sampai kapanpun akan saling tarik-menarik. Ku seakan tak bisa menjauh dari kang Qalbu. Ku tak bisa jika harus tak me-reply sms darinya, ku tak bisa me-rejekc tiap ada telepon darinya. Dan ku tak bisa sembunyikan binar bahagia ku saat bertemu dengannya. Seperti kecanduan, tak bisa ku bila sehari ku tak berjumpa dengannya. Tiap ada waktu senggang kami sering berbincang. Entah itu tentang kuliah, UKM, masalah BEM, masalah agama, sampai kembali ia tanyakan.
“Jadi A ini sebagai apa buat kamu, Din?” jangan tanyakan itu, ku benci pertanyaan menjebak. Kenapa tak nikmati saja dulu kebersamaan kita? Melulu tanyaiku seperti itu buatku pusing. Ku hanya bisa menjawab dengan kebisuan.
“Dina, Jangan bikin A gantung kaya gini.” Sumpah, seperti ada jaringan benang yang mengatup mulutku. Kemudian ia beranjak kehadapanku. Posisi kita lurus berhadapan. Saat ku tegakkan kepala pandangan kami saling bertaut. Ku bisa lihat jelas iris matanya yang hitam pekat.
“Dina…?” dia menodongku dengan tunjukan pengibaannya padaku. Ku harus jawab apa? Tak bisa berbuat banyak. Ku hanya diam.
“Dina ada kuliah dulu, kang! Salamu’alaikum” langkah seribu adalah jurus terjitu saat itu.
“Wa’alaikumsalam” lirih jawabnya.
***
Akhirnya pulang juga. Baru saja pak Dede menutup kuliahnya, ponselku bergetar satu kali, ada sms artinya. Kang Qalbu.
Dah beres, Din? Dmn?
Ya, Masih d kelas… knp?
Ntar turun pake lift yg dket ruang kls km ,y?
Da pa ?
Please, Din.nurut j y!
Iya… iya…
Kubergegas pergi. Menuju pintu lift terdekat. Seperti biasa semua anak pasti menuju pintu lift yang sama. Pasti letih bila harus menuruni tangga dari lantai lima dengan tenaga sisa. Kami antri di salah satu pintu. Berdiri tepat di tengah, jadi saat pintu terbuka ku bisa langusng masuk, dan turun di kloter pertama. Tiga, empat,,, dan lima. Lantai lima. Pintu mulai terbuka. A Qalbu? Sedikit kaget. Sendirian, ngapain? Saat anak-anak lain hendak masuk.
“Tunggu” begitu perintahnya. Semua yang hendak masuk kembail ke posisi semula. Titelnya sebagai panitia ospek tergalak masih berpengaruh.
Kepalanya tertunduk, tiba-tiba membuka kancing kemejanya satu persatu. Aneh, ngapain si? bukan hanya aku, semua teman ku juga begitu. Hanya bisa memperhatikan, perlahan kami lihat tulisan di kaos yang ia pakai. Semua kancing sudah terlepas. Ia singkap dengan bangga, mengangkat kepalanya, tersenyum padaku dengan penuh arti.
DINAMIKA, I LOVE U…!!
Begitu tulisannya. Semua berdecak. Mereka semua ber-cie-cie-ria. Aku malu. Rasa melayang seperti di mimpi.
“Dina!” suaranya yang nge-bass buat aku makin deg-deg an ”Please, be my lady??”
Begitu katanya. Ku hanya terkaget-kaget. Riuh rendah semua kawan dan orang-orang menyaksikan terheran-heran.
“Cie,,, Dina… prikitiw,,,!!”
“Adeyyyy..”
“Terima aja, Din!”
“Iya. terima aja!”
“Terima… terima… terima…” begitu kata mereka saling bersahutan. Sambil bertepuk tangan. Aku malu setengah mati. Mungkin wajahku mulai bersemu merah sekarang.
Ku hanya bisa diam. Dan tiba-tiba seseorang menjorokkanku dari belakang. Hingga hampir saja ku jatuh, tapi tak terjadi. Kang Qalbu menangkap kedua lenganku. Makin ramai suara di luar. Ku yang mulai salting, Hendak keluar kembali. Namun pintu segera ditutup. Baru kali ini kami benar-benar berdua. Ya Allah, ampun!!
“Jadi gimana? Masih ragu? Hem?” tanyanya mempermainkanku.
“Malu-maluin, tau?”
“A berani malu cuma buat kamu”
“Iya,, tapi,,,” kata-kataku tak terselesaikan. Segera ia berdiri di hadapanku.
“Will you be my lady?” setelah semua yang ia lakukan untukku. masih sanggupkah ku menolak? Tuhan. bahkan imanku yang lemah ini masih harus Kau uji??
Ku hanya bisa diam, melihatnya sekilas, kurundukan kembali kepala kemudian tersenyum. Hatiku berbunga. Pintu lift segera terbuka. Segera kuberlari. Menjuah tuk tenangkan diri. Yang terlalu senang ini.
***
Di kosan ku hanya bisa melamun, senyum sendiri saat ingat tragedy tadi. Kalau saja ada orang yang melihat, pasti disangkanya aku orang tak waras. Sungguh perempuan mana yang takkan kegirangan bila diberi kejutan gila seperti tadi?
BINGUNNNNNGGGGGGGGGGGGGGGG……………..!!!!
Di tengah keserba-salahan ponselku kembali berbunyi. Sms. Kali ini bukan dari lelaki gila bernama Qalbu.
Assalamu’alaikum adik2 geografi ’10. Mohon khadiranx ya dlm acara Keputrian jilid 3 dg tema “Ya, Allah Aku Jatuh Cinta…!!!” yg insayaAllah kan dlaksanakn hari Jum pukul 11.00 bsok d ruang 11-IV. Presensi berlaku, n kan mnambah nilai tutorial klian. Diantos pisan. Hatur nuhun!!!
Begitu sms jarkom dari Hana. Menarik. Emang aku masih punya nyali buat kuliah besok? Gimana besok saja lah. Semoga disana bisa kudapatkan jawaban untuk semua ini. Ya, semoga!
***
Dalam sujud ku menangis, dalam sesal ku kecewa, dalam sendiri kurenungi. Aku salah selama ini, ku dosa selama ini, ku terkalahkan nafsu. Ku mau pulang pada-Mu, ku mohon sucikan diriku. Mengapa setelah semua mekar baru kusadar, saat virus itu mulai menjangkit ku tak tahui. Ku terhanyut dalam badai perasaan. Perasaan yang seharusnya kuredam, perasaan yang seharusnya ku bungkam, malah ku agungkan, ku biarkan mengaung di relung-relung hatiku yang kosong, hingga hanya terisi suara-suara bayangan semu dan buat hatiku jadi batu terhadap-Mu. Rabb,, bawa ku kembali di jalan-MU.
Setelah acara keputrian kemarin ku mulai berfikir, tidak sekedar merasa. Sang Maha Cinta benar telah menganugerahkan cinta sebagai fitrah, sebagai karunia seorang untuk mencinta dan dicinta, untuk tertarik dan simpatik, menyayangi dan mengasihi pada apapun dan siapapun. Itulah cinta. Namun tidak sekedar cinta. Banyak orang yang mencintai dengan baik, namun tak semua mampu mencintai dengan benar. baik dalam arti memberi cinta yang tak terkira pada siapa yang dicinta, dan mencintai dengan benar berarti karena Allah saja kita mencintai seseorang. Sepantasnya cinta hanya ditujukan pada Dia, pemilik segala yang ada di alam raya. Namun banyak manusia digelincirkan setan, hingga memandang cinta hanya dari kacamata syahwat, mendekatkan mereka pada zina, yang jelas hukumnya, laknat bagi pelakunya. Dan pendosa adalah orang yang selalu berusaha mencari pembenaran dalam setiap kesalahan. Apakah aku termasuk?? Menjadi pezina hati dan pezina mata. Astagfirullah.
“Na aku bingung. Mesti gimana ke dia?” keluhku pada Hana.
“Bicaralah jujur pada hati kecilmu, suara hati terdalam itu selalu benar, namun karena suaranya kecil, seringkali terkalahkan ego dan nafsu. Hingga manusia tak lagi turut nurani, fitrah manusia berada dalam kebenaranpun turut lenyap. Sebelum perasaannya semakin bertambah. Lebih cepat lebih baik, Din. ” hanya diam. Kujawab dalam hati Namun aku pun mencintainya. Hana segera yakinkan.
“Inget, Din. Cinta yang halal itu hanya setelah pernikahan.”

Ku buka jendela di dini hari, ku hirup udara basah dalam-dalam, dinginnya Cilimus kurasa sejuk, bergerak ku putar keran, mulai berwudlu, tuk hilangkan najis dan bersihkan hati. ku kembali pada Rabb ku, dalam sujud ku berazam. Tuk hanya mencintai Ilahi, yang hanya kan mencinta dan dicinta karena-Nya. Mulai dari sekarang kan ku lupakan perasaan itu.
Tak mudah. Cinta ibarat energi. Dalam ilmu fisika energy berarti daya sesuatu untuk melakukan usaha, ia tak dapat dimusnahkan hanya bisa diubah dan diarahkan, begitupun cinta, tak dapat lenyap sekejap, hanya bisa diarahkan dan diubah, akan dijadikan apa cinta sebagai energi, energi baikkah atau malah energi negative yang merusak? Ku coba sekuat tenaga. Tuk arahkan cinta yang belum sepatutnya itu pada yang benar. ku berusaha sekuatku, tak lagi membalas smsnya, tak lagi angkta panggilannya, dan saat ku tau dia ada ku kan pergi, bukan maksud memutus silaturahmi hanya ku takut, cinta itu kembali. Sama seperti waktu itu. Saat ku tau dia dekat, ku kan pergi menjauh, berbalik arah agar dia tak bisa melihatku. Namun ku gagal.
“Dina,,, dina…” dia memanggilku. Ku berjalan dengan cepat. Gagal. Langkah panjangnya mampu mengejarku.
“Dina, tungggu, Din!” kini ia ada dihadapanku.
Ku coba pergi, tapi dia membayangi. “Kamu kenapa si, Din? Akhir-akhir ini kamu beda, disms ga pernah dibales, ditelpon ga pernah diangkat, kamu kenapa? Kalo a punya salah, a minta maaf!” kasihan, pasti ia kebingungan.
“Maafin Dina, Kang? Bukan maksud Dina untuk memutus silaturahmi, hanya Dina khawatir”
“Khawatir kenapa, Din?” jawabnya memburu.
“Khawatir perasaan ini semakin menjadi, ini tidak benar Kang. Ada yang harus Dina cintai saat ini.” Wajahnya kebingungan.
“Maksud kamu apa? Siapa yang harusnya kamu cintai, hah?” sedikit meninggi nadanya, ada percik marah dalam suara.
“Allah yang harus Dina cintai saat ini. Sudah cukup Dina berdosa karena zina hati. biarkan Dina pergi kembali pada jalan cinta llahi Rabby.”
“Jadi Tuhan mengharamkan hamba-Nya mencintai? Tuhan tak sejahat itu, Din! Tuhan tak seegois kamu, melarang kebebasan seseorang tuk mencinta.”
“Tuhan memang tak melarang, tapi Tuhan punya jalan. Islam punya syariat. Di jalur mana seseorang halal mencintai lawan jenisnya. Akang pasti faham itu.”
“Baik kalau itu yang kamu mau. Terserah!!!” suaranya meninggi, tanda ia murka. ia berbalik arah, pergi menjauh tinggalkan ku sendiri di persimpangan jalan. Ingin kupanggil ia kembali dan memohon maaf. Atas apa yang telah kupilih. Lalu kuputuskan kemanakah ku melangkah.
Sejak saat itu, ku tak pernah berjumpa dengannya. Ia seperti menghilang. Lama kemudian baru ku tau dia kan tamatkan S1-nya di Jepang. Ku syukuri itu. Ku mulai merubah energi cinta itu menjadi energi perubahan, tak mudah dilupakan hingga aku harus cari kesibukan agar kumampu lupakan perasaan bersalah karena telah melukainya. Hingga akhirnya ku ikhlas jika sekalipun harus dibenci seorang Qalbu Ihsany, asalkan ridlo Ilahi menyertai langkahku.
Mulai sekarang ku harus mengubah peta hidup. Ku tak ingin Dinamika yang standar, ku mau jadi pribadi yang dinamis, berubah dari standar jadi luar biasa. Ya, Dina yang baru adalah Dinamika sinergis dengan jalan-Nya. Dan kubertahan dalam perubahanku. Kuselalu mohon ampun atas segala keliru yang dulu. Dan berharap selalu agar seorang gagah disana mampu maafkan aku. Dalam harap tetap kuingin dia.
***
Satu tahun berlalu. Ku berusa tetap dikoridor-Nya. Ku nikmati Islam sebagai jalan hidupku. Ku tak pernah lupakan masa lalu. Biarkan ia jadi guru hidup, dan hikmah untuk masa depan.
Dua hari setelah ujian semester kemarin ibu menyuruhku pulang. Ibu bilang ibu kangen sekali padaku, disamping itu juga ada hal yang ingin ibu dan bapak bicarakan dengan ku. Senang hati aku segera berkemas dan mencari bus.
Dalam perjalanan aku sms beliau.
Bu, teteh berangkat. Mohon doa moga lancar sampe rumah. Tak ada balasan. Mungkin beliau sibuk. Dua puluh Lima menit kemudian ibu menelpon ku.
“Assalamu’alaikum…!”
“Wa’alaikum salam. Teteh lagi dimana?”
“Baru nyampe Padalarang, Bu!”
“Cepet pulang ya, teh. Ada kabar gembira. Heheheh” Ibu bilang dengan riang.
“Ada apa si, bu? Happy banget.”
“Kemaren ada yang datang ke rumah. Ngelamar teteh. Hehehhe”
“Hah?? Ih,,, ga mau ah!! Kuliah baru beres tingkat satu, itu juga belum, tentu lulus, Bu!.”
“Ih,,, jangan gitu atuh. Orangnya ganteng, pinter, mapan lagi! Katanya dia kaka tingkat teteh”
“hah? Siapa, bu?” heran, aneh dan berdebar-debar.
“Namanya,,, mmhhh,, Ihsany,,,” nafasku tertahan.
“Qalbu Ihsany.” Ku tak mampu berkata-kata. Mata berkaca-kaca. Kang Qalbu??
Dari jauh disana ibu memanggil-manggil. Namun tak hiraukan. Kembali ku bertasbih, berhamdalah dan beristigfar. Betapa indah rencana-Mu. Meski tak mudah, ditemani onak dan duri. Namun selalu berujung indah.
Allah hadiahkan kebahagiaan hanya untukku. Saat ku pilih Islam sebagai pedoman.